Kamis, 21 Juni 2012

Cerpen_KETIKA TUHAN BERKEHENDAK

Oleh : Nita Afrianti

Pengumuman kelulusan ujian akhir nasional. Satu jam lagi kata kepala sekolah ketika memberi sambutan. Kami berkumpul dan berbaris tepat pukul 08.00 pagi, dihalaman sekolah. Sambutan dan pengarahan Kepala sekolah di dengarkan dengan hikmat, semua murid menunduk berdo’a dengan hati berdebar. Menanti detik-detik yang sangat menentukan masa depan. Setelah sambutan, semua siswa kelas III SMP Negeri Rawalo masuk ke dalam kelas masing-masing.
Sangat menegangkan. Hari ini sebuah sejarah terpatri dalam diri masing-masing. Dan anehnya kelas III D yang waktu kemarin ketika masa belajar terkenal dengan keributannya dan selalu didatangi oleh guru BP, hari ini sunyi senyap. Anak-anak biang keributan khusuk dengan do’a mereka. Semua menundukan kepala dengan tangan di atas meja, dari balik jendela kaca, langkah Ibu Sumarsih wali kelas III D terlihat memasuki ruangan, wajahnya pun tegang, beliau takut dan malu jika pelajaran yang selama ini diberikan guru-guru SMP Negeri Rawalo tidak membuahkan hasil. Bu Rita melangkah dengan membawa map berwarna kuning yang didalamnya berisi tiga puluh delapan amplop berwarna putih yang sudah tertera nama masing-masing dari murid yang ada di dalam kelas ini.
“Anak-anaku, ketegangan ini bukan hanya dirasakan kalian namun juga semua dewan guru di sekolah ini. Diantara kalian ada yang gagal dan harus mengulang tahun depan. Kami dewan guru meminta maaf jika pelajaran yang kami berikan tidak dapat diterima dengan baik oleh kalian, kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk membantu kalian. Dan semua itu kembali pada kalian. Jika kalian selama ini serius dalam belajar, pasti kalian tidak akan kecewa. Baiklah langsung saja akan saya bagikan amplop pengumuman ini dan ibu harap dibuka di rumah, di depan orang tua kalian.” Sambutan Ibu Sumarsih menambah gemetar hati semua murid.
Satu persatu amplop sudah berada di tangan semua murid. Kami sekelas tidak ikut keluar kelas, detak jantung mengiringi detik-detik penentuan. Amplop putih ini kupandangi dengan perasaan khawatir, namun penasaran. Seakan tidak mendengar perintah Ibu Sumarsih untuk membuka di rumah di depan orang tua, karena besar rasa penasaran akhirnya kami sepakat untuk membuka bersama-sama di dalam kelas. Belum ada intruksi buka, Sidik anak paling bandel di kelas berteriak dan tersungkur sujud di lantai kelas “Terima kasih Ya Alloh” teriaknya, pandangan kami serentak tertuju padanya. Rasa penasaran kami semakin memuncak. Tangis sedih Aan anak yang menjadi siswa teladan tak dapat dielakan satu pelajaran dia gagal. Rasa malu dan menyesal bercambur aduk, aku pun merasa heran kenapa Aan gagal.
Aku membuka amplopku dengan gemetaran. Kertas putih yang berlogo dinas pendidikan aku buka perlahan, langsung mataku menemukan nama yang dicetak dengan huruf tebal ”NITA AFRIANTI”. Lalu kulihat tulisan “LULUS”.
Jantungku semakin berdebar, haru hingga meneteskan butiran air mata di kelopak mataku. Perjuangan bapak dan Ibu tidak sia-sia, batinku  merasa bahagia tetapi aku juga merasa sedih melihat teman ku yang tidak lulus. Setiap orang yang mengucapkan selamat pada ku membuat ku ingin cepat pulang dan memberitahukan pada orang tua ku.
“Selamat ya, kira-kira Nita bisa lanjut ke SMA tidak ya?” tanya Lina pada ku. Aku benar-benar hancur saat aku mendengar kalimat itu. Kenapa sahabat dekat ku sendiri sanggup menghancurkan hati ku disaat yang bahagia ini?
Aku mengingat selama 1 tahun terakhir ini, keadaan ekonomi keluarga sedang terpuruk. Usaha toko orang tua ku benar-benar sedang mengalami keterpurukan yang amat sangat membuat keluarga ku putus asa. Ada tetangga sebelah yang juga mendirikan toko, dia tidak mau toko yang di dirikannya itu disaingi oleh orang lain, jadi dia pergi ke dukun untuk membuat toko orang tua ku bangkrut. Berawal dari situlah keterpurukan ekonomi keluarga ku. Dan pada pertengahan kelas 3 ini hampir saja aku mandek di tengah jalan. Karena aku rasakan kesulitan yang di alami orang tuaku sangat berat. Jangankan untuk mendaftar SMA, untuk membeli barang-barang dagangan yang akan dijual lagi saja bapak sangat merasa berat, jika tidak ada barang yang dijual maka keluarga ku tidak bisa makan untuk hari itu.
Namun, semangat Bapak untuk terus menyekolahkan aku tetap membara. Setiap hari nasehat-nasehatnya membukakan pikiranku. Ketika bapak mulai mengeluh dengan keadaan ini, karena biaya untuk mendaftar SMA itu tidak sedikit. Tetapi semangat ku untuk malanjutkan ke SMA sangat besar dan q berfikir untuk merubah kembali perekonomian keluarga ku seperti dahulu dimana keluarga ku mengalami masa kejayaan. Itulah aku dan itu menjadi beban dalam pikiranku. “Kalau bukan aku siapa yang akan merubah nasibku dan keluarga ku di masa depan? ”  kataku dalam hati.
 Sepanjang jalan pulang rasaku tak karuan. Otakku ditempa oleh keadaan. Kebimbangan untuk menetapkan masa depan begitu suram. Mau kerja di Jakarta? Tetapi siapa yang akan membawa aku ke Jakarta dan melamar kerja? Lalu setelah aku di Jakarta, aku mau kerja apa di usia ku yang masih dibawah umur ini? Lantas jika tidak melanjutkan sekolah mau jadi apa? Ngapain? Benakku terusik.
Sampai di rumah, keadaan rumah sangat sepi. Bapak, ibu serta Indri dan Ana  adikku pasti sedang ke rumah nenek ku yang rumahnya tidak jauh dari rumah ku karena nenek sedang membuat syukuran untuk kakek ku yang sudah meninggal 3 tahun lalu. Aku masuk ke dalam rumah, mataku meyapu keseluruh sudut ruangan, sepi. Lalu aku buka tudung saji yang tertelungkup di meja makan, kosong. Hanya sebutir nasi kering yang melekat di atas meja sisa kemarin. Aku melangkah ke tunggu di dapur rumahku, senyap dan dingin.
“Pasti Ibu tidak masak hari ini” Gumamku. Rasa lapar aku tahan, air putih aku harap cukup untuk mengenyangkan perut.
Aku rebahkan tubuhku di dipan kamar ku, amplop kelulusan masih aku pegang.
“Keadaanku sangat payah, aku harus tetap sekolah agar kelak keluargaku tidak lagi dalam keadaan susah. Aku harus sekolah!, tapi aku bingung darimana biaya untuk mendaftar ke SMA? Tapi, aku harus tetap sekolah walaupun untuk tahun depan” Jerit hatiku.
Rasanya aku harus hijrah dari desa ini. Aku akan mencari pekerjaan untuk melanjutkan sekolahku sendiri. Itulah tekad ku. Pikirianku merayap jauh, keadaan keluargaku membangun mimpi-mimpi besar di anganku. Aku jadi ingat petuah guru SD ku” Raihlah cita-citamu setinggi bintang di langit. Jika tidak tergapai setidaknya setinggi pohon kelapa yang tergapai” kata bijak itu mampu mendorongku untuk tetap pada pendirianku. Aku harus terus sekolah!! Dengan perasaan geram dan greget penuh semangat.
Terdengar dibelakang rumahku suara “tok..tok..tok” suara pintu depan terbuka. Aku bangkit dari rebahku, melangkah menyambut mereka.
“Sudah pulang nit?” Sapa Ibu sambil meletakan rantang yang berisi nasi dan lauk yang dibawa dari tempat nenek ku.
“Iya bu” Jawabku sambil mencium telapak tangan ibu, lalu disusul dengan tangan bapak.
“Terima kasih Pak, Bu akhirnya aku lulus” Ucapku sambil memeluk tubuh-tubuh renta itu. Tangan-tangan kasar namun lembut itu mengelus rambutku dengan rasa haru dan sayang. Hatiku terasa adem tak sanggup untuk mengatakan jika aku ingin sekali melajutkan sekolah.
“Kamu masih ingin terus sekolah nak?” Tanya Ibu, tiba-tiba. Aku terdiam, tak dapat menjawab. Aku tahu perasaan mereka, aku tahu mereka sedih, aku tahu mereka sangat menginginkan aku harus tetap sekolah, aku tahu mereka putus asa, namun mereka tak dapat ber buat apa-apa.
Malam semakin larut, anganku terus mengusik, gelisah tak dapat memejamkan mata. Semua posisi sudah aku terapkan, miring salah terlentang salah tengkurap apalagi. Merdu suara jangkrik mengiringi hembusan angin dingin yang menyelusup melewati cela-cela jendela kamar. Terdengar lirih di tengah kesunyian malam percakapan Ibu dan Bapak di dalam kamarnya.
“Anak kita harus tetap terus sekolah Pak, kasihan lagi pula anaknya cukup pintar dan telaten” kata Ibu.
 “Iya bu, tapi yang Bapak pikirin pakai apa kita membiayainya?” jawab Bapak lemah.
 “Ibu yakin pak, nanti ada saja jalan dan rezekinya, selagi kita benar-benar niat mau menyekolahkannya”
“Ya, kita hanya bisa berdo’a saja bu” 
Lalu hening.
Keheningan malam berlalu, kokok ayam jantan bersahutan disusul adzan subuh lirih dari surau, bergegas aku mandi walau mata ini berat sekali karena semalaman aku tidak dapat tidur. Sholat subuh adalah kewajiban.
Fajar menyingsing mentari hangat menyinari halaman rumah yang belukar, tanaman hias tak terawat. Di dapur ibu sedang menyiapkan sarapan dan bapak sedang membersihkan belakang rumah yang kotor akibat daun yang berjatuhan tertiup angin. Aku mengisi bak mandi dan gentong untuk masak dan mencuci piring Ibu.
“Tok...Tok...Tok... Assalamualaikum.....” terdengar suara orang yang bertamu.
“Waalaikum salam.......” Jawab ibu
“Oh pak pos, tumben pak datang kemari?Ada surat dari siapa ya pak?” Sambung Ibu
“Ini bukan surat bu, tapi wesel buat ibu” Pak pos menjelaskan
Bapak yang tadinya di belakang rumah keluar untuk menyusul ibu menemui pak pos dan aku tetap asyik menyelesaikan pekerjaan ku mengisi bak mandi.
“Ada apa Bu?” tanya bapak “Ini lho pak, katanya ada wesel tapi ibu belum tahu dari siapa?”
“Ini bu, nanti pengambilan langsung ke kantor pos saja” Jelas pak pos
“Oh...Iya pak, terima kasih pak”
“Sama-sama bu, sudah menjadi tugas saya” Sambung pak pos
Bapak dan ibu pun langsung mencari tahu wesel tersebut kiriman dari siapa. Ternyata wesel tersebut dari bu lik ku yang berkerja di luar negeri.
Bapak pun langsung membaca tulisan angka yang tertulis jelas di halaman depan kertas, Rp 1.500.000,00. Dikertas itu tertulis sejumlah angka yang benar-benar membuat keget ibu dan bapak.
“Nit....Nit....Nit...Sini...” Panggil ibu pada ku
“Ya bu, sebentar....”
Tak beberapa lama aku mendekati mereka dan ku lihat kertas yang di pegang oleh bapak.
“Wesel ini dari siapa pak?” tanya ku bingung
“Dari bu lik mu nit...” jawab bapak.
Tak berapa lama, tetanggaku datang ke rumah untuk memberikan telepon yang katanya dari bu lik ku karena pada saat itu keluarga ku belum mempunyai telepon.
“Halo Assalamualaikum.....” Sapa bapak di telepon
“Waalaikum salam.....” Jawab bu lik di telepon
“Mas, gimana kabar keluarga? Udah lama ya ga pernah kasih kabar..” Tanya bu lik ku
“Kabar keluarga alhamdulillah lagi sehat-sehat semua dik, kamu sendiri gimana?”
“Kabar ku alhamdulillah juga baik ko mas...Oia mas, wesel ku udah nyampai?” tanya bu lik penasaran.
“Ni baru aja sampai dik, kertasnya saja masih aku pegang, itu wesel untuk siapa dik ko jumlahnya banyak banget?”
“Aku tahu mas, Nita udah lulus SMP dan pasti dia ingin sekali melanjutkan ke SMA, jadi aku kirim wesel untuk membantu biaya pendaftaran Nita ke SMA mas..” Jelas Bu lik.
“Ya Alloh dik....Maksih banyak dik, ini memang akan sangat membantu Nita untuk dapat melanjutkan sekolahnya.” Ucap bapak.
“Ya udah kalau begitu mas, aku mau pergi dulu ni...Salam buat kelurgaku semua ya mas...”
“Ya dik, sama-sama.....Mas ucapkan terima kasih banyak buat bantuannya dik..Jaga diri baik-baik di situ” Kata bapak.
Tak berapa lama, bapak melempar senyuman ke arah ku dan menceritakan kembali kalau bu lik mengirim bapak wesel dengan tujuan untuk membantu biaya pendaftaran ku ke SMA. Mendengar hal itu, hati ku langsung berbunga-bunga. Aku merasa bahagia sekali, ternyata angan-angan ku untuk melanjutkan sekolah sekarang bukan hanya angan-angan belaka tapi ini akan menjadi kenyataan.
“Ya Alloh.....Alhamdulillah...Engkau memberikan jalan yang terbaik buat ku” Ucapku dalam hati.
Setelah kelulusan SMP, memang siswa dinyatakan lulus tetapi ijasah belum dapat diberikan pada saat itu juga. Ijasah dapat diambil setelah kelulusan dan ada pengumuman kalau besok adalah hari pengambilan ijasah.
Pagi-pagi aku sudah berpakaian rapi dan siap untuk menyantap makanan yang sudah disiapkan oleh ibu. Orangtua ku sudah tahu kalau hari ini jadwal ku untuk pengambilan ijasah.
Sesampainya di sekolah, orang yang pertama aku temui adalah Lina karena dia teman dekat ku. Dia sedang duduk di serambi kelas untuk menunggu wali kelas ku datang membagikan ijasah.
“Hai lin....Sendirian aja ni? Gimana kabarnya?” Sapa ku.
“Heem ni nit, kabar ku baik ko nit...kamu gimana?”
“Aku juga baik ko lin....”Jawab ku.
“Oia nit, kamu akan melanjutkan SMA ga?”
“Insya Alloh Lin, bapak sudah menyuruh ku untuk mencari informasi pendaftaran SMA yang akau inginkan”
“Ha, masa seorang Nita mampu untuk melanjutkan ke jenjang SMA? Masa iya sih? Memang orangtua kamu lagi punya duit Nit” Ucapnya sambil tertawa sinis.
Aku sakit hati banget mendengar pertanyaan Lina yang begitu mengejek keadaan perekonomian keluarga ku sekarang, padahal dulu kalau Lina main ke tempat ku Lina selalu dibawakan jajan untuk adiknya dan keluarganya di rumah karena orangtua ku sudah menganggap mereka seperti keluarga sendiri tetapi setelah keluarga ku mengalami keterpurukan kenapa Lina jadi seenaknya saja mengejek keluarga ku??
Setelah aku mendengar ejekan Lina yang sangat keterlaluan itu, aku langsung masuk kelas dan bergabung dengan teman-teman yang lain. Tidak berapa lama Ibu Sumarsih selaku Wali Kelas ku masuk kelas dan membagikan ijasah yang dibawa beliau. Satu persatu nama disebutkan dan setelah aku menerima ijasah, aku langsung mencari tahu pendaftaran SMA yang sudah buka pendaftaran.
Pilihan ku jatuh pada SMA N Patikraja yang letaknya cukup jauh dari rumah ku. Perjalanan yang harus ditempuh untuk sampai ke SMA itu adalah 45 menit dan itu aku berangkat dan pulang sekolah naik bis yang jalur lintasnya lewat depan rumah ku persis karena rumah ku berada di pinggir jalan raya. Sebenarnya aku memilih SMA 5 Purwokerto yang khualitasnya cukup bagus, tetapi kalau mendaftar di SMA itu nilai ku tidak mampu untuk bersaing dengan anak-anak lain.
ф*ф*ф
Hari pengumuman yang ditunggu-tunggu pun akhirnya datang juga. Pagi-pagi sekali sekitar jam 6 aku sudah berada di depan gerbang SMA bersama dengan beberapa anak yang aku kenal saat pendaftaran. Jam yang berada di atas gerbang sudah menunjukkan pukul 07.00 dan gerbang pun akhirnya dibuka oleh Satpam yang sebenarnya daritadi sudah ada di depan gerbang. Aku langsung masuk dan melihat pengumuman yang sudah di tempel di papan pengumuman.
Dari sekian banyak daftar nama siswa yang diterima, nama ku pun ada dalam kolom no 2 paling atas.
“Alhamdulillah.....” Ucap syukur ku dalam hati karena Alloh telah memudahkan aku dalam segala hal, dari yang tidak mungkin menjadi mungkin. Seperti sekarang ini, disaat perekonomian keluarga ku sedang dalam keadaan kritis tetapi Alloh mengirim bantuan lewat bu lik ku yang mengirim wesel untuk membantu melanjutkan sekolah.
Tidak berapa lama setelah aku melihat pengumuman tersebut, aku pulang karena orangtua ku berhak tahu hasil pengumuman tersebut. Sesampai di rumah, orang tua ku sudah menunggu hasil pengumuman tersebut dan akhirnya senyum pun terpancar dari wajah mereka yang lembut menatap ku bangga.
Hari-hari di SMA pun sudah aku lalui selama 1 tahun dan tiba saatnya untuk mengistirahatkan fikiran selama liburan sekolah tiba karena adanya hari raya idul fitri, aku libur selam 2 minggu. Di hari idul fitri tersebut biasanya orang-orang yang merantau di Jakarta dan sekitarnya akan pulang untuk berkumpul dengan keluarga, begitu juga dengan Lina. Saat aku dan keluarga ku berjalan-jalan untuk bermaaf-maafan, tidak sengaja aku bertemu dengan Lina dan keluarganya. Aku dan keluarga ku pun berhento sebentar untuk saling menyapa dan bersalaman.
“Minal aidzin wal faidzin ya Lin” Ucap ku
“Sama-sama nit...” Balasnya
“Sekarang melanjutkan sekolah di SMA mana Lin?”
Dengan wajah yang bingung dan gugup dia menjawab “Aku ga melanjutkan sekolah Nit, orangtua ku tidak punya uang buat biaya pendaftaran ku” Jawabnya.
Aku kaget mendengar jawaban Lina tersebut, anak yang dulu pernah mengejek ku karena perekonomian keluarga ku, sekarang justru malah dia yang tidak melanjutkan sekolah. Dengan perasaan bangga dan sedih aku memandang Lina dengan tidak percaya. Bangga karena dengan bantuan bu lik ku aku bisa sekolah dan sedih karena teman dekat ku dulu tidak bisa melanjutkan sekolah.
Sesampai di rumah aku menceritakan ke ibu ku kalau ternyata Lina tidak melanjutkan sekolah karena orangtuanya tidak mempunyai biaya untuk mendaftar ke SMA. Mendengar hal itu ibu ku langsung berpesan kalau kita dalam keadaan sedang mempunyai rezeki, sebaiknya kita jangan mengejek orang yang sedang di bawah dalam artian kondisi ekonominya sedang tidak mampu karena jika Alloh sudah campur tangan, semua yang tidak mungkin akan menjadi mungkin. Sampai sekarang pesan ibu selalu aku ingat dan itu selalu menjadi motivasi buat ku untuk tidak menyepelekan orang lain.
∞◊∞◊∞

Tidak ada komentar:

Posting Komentar